Kata-kata yg yg bermakna kini hilang seketika

“Alhamdulillah, yah… Sesuatu banget…”, “InsyaAllah”, “Afwan”, dan mungkin kata lainnya yang lagi nge-trend saat ini. Kalau nggak ngucapin itu, sesuatu banget gitu rasanya.

Ya, itulah kondisi kita hari ini, terpuruk dalam keterpurukan, bangkit terlalu cuek untuk dilaksanakan. Biarkan malu jadi pelindung, aurat terbuka membelah dunia, semakin mendayu… mendayu… tak risau harga diri telah jauh dari makna.

Terlalu berat yah bahasanya. Saya nih memang sok keren juga kadang-kadang.

Baik, nah itulah kondisi kita hari ini. Kita merendahkan harga diri kita sendiri padahal kita lebih berharga dari ummat lainnya yang ada di alam raya Allah subhanahu wa ta'ala ini. Kelatahan kita tak lagi memandang apakah ini layak atau baik, apakah ini pantas atau tidak, yang penting sesuatu banget…

Kata Alhamdulillah adalah kata-kata yang syarat pujian kepada sang Khalik ‘Azza wa jalla. Yang dengan kata itu kita bisa memaknai dunia, lapar menjadi kenyang, haus menjadi segar, amarah menjadi bijaksana, itulah kata yang bisa merubah dunia.

Begitu pula banyak kita dengar “insyaAllah” menjadi tameng di kala alpa, di kala gundah, di kala tak ingin disapa yang seharusnya tak terucap sehingga tak hilang makna. Atau kata “Afwan/Maaf”, kata yang penuh dengan kemuliaan, cinta, ukhuwah dan menyatukan banyak jiwa. Tapi hanya manis terasa di lidah dan pahit ketika harus memaknainya.
Banyak kata-kata mulia lainnya yang kemudian kehilangan makna karena kita tak bisa meresapi apa yang sesungguhnya tersirat di balik kesimpelannya. Ya, kata-kanya simple, hanya satu suku kata, dan lidah ini entah mengapa sangat terasa enjoy meluapkannya. Lidah seperti sedang dipijit di sebuah rumah pijit tapi sayang rumah pijitnya “pijit plus-plus”.

Tak salah jika kemudian dia harus diungkapan, “Alhamdulillah…” ,“InsyaAllah” ,“Afwan atau Maaf”, tapi jadikanlah ia dzikir kerana kemuliaan makna yang tak habis jika dibahas 1001 malam purnama.

Kemulian-kemuliaan kata, jangan sampai justru menunjukkan kebobrokan akhlak, mental, dan kehinaan dari dalam diri yang berharga. Ucap “Alhamdulillah” tapi jarang bersedekah, ucap “Alhamdulillah” tapi aurat diumbar menantang dunia, ucap “Alhamdulillah” tapi seringkali lupa Allah subhanahu wa ta’ala. Begitu pula dengan kemuliaan-kemuliaan kata lainnya.

Hari ini kita sedang membentuk kembali peradaban. Yang tak akan mudah untuk menatapnya. Tak ada yang menyuruh kita untuk menjadi seorang alim, seorang fakih, karena semua telah cukup porsi oleh Pengatur Dunia. Tapi minimalkanlah sikap-sikap, prilaku-prilaku yang dapat merendahkan kemuliaan dari tiada duanya kemulian di dunia.

Sedikit saja, walau itu sebesar biji dzarrah, Dia tak akan melupakannya. Semua telah jelas perhitungan dan hisabnya nanti di sana.

Kita adalah ummat mulia, ummat penghuni surga. Jagalah kemuliannya dengan rasa cinta, hunuskan di dada, semaikan bersama jiwa.

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala selalu menjaga lisan, hati, dari jiwa-jiwa yang sebenarnya hina tapi hendak kembali menuju mulia.

Komentar

Postingan Populer